Persoalan sampah akan selalu ada selama berlangsungnya kehidupan dan sampah merupakan salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan, entah itu sampah domestik, sampah indutri, sampah spesifik, sampah medis maupun sampah B3.
Telah banyak kebijakan serta peraturan yang telah ditetapkan sebagi upaya pengelolaan persampahan dan telah banyak pula teknologi yang dikembangkan untuk mengolah sampah. Namun sampah masih menjadi permasalahan pelik di negeri ini, karena sampah sangat berkaitan erat dengan kebiasaan hidup, cara pandang dan budaya masyarakat Indonesia pada umumnya. Sampah masih dinilai sebagai sesuatu yang sudah tidak bermanfaat yang harus dibuang, kotor, berbau sehingga sampah dihindari, tanpa peduli bagaimana penangannya.
Apabila dikutip dari UUD’45 amandemen pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat..” maka seolah-olah masalah pengelolaan sampah hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, padahal pada UU no. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No.18 tahun 2008 pasal 29 disebutkan mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan. Masalah sampah adalah masalah bersama yang perlu dicarikan solusi bersama (pemerintah, masyarakat dan swasta) yang tidak saling memberatkan, efektif dan efesien.
Menangani sampah domestik tidak semudah menangani persoalan lingkungan lainnya, misalnya apabila terjadi pencemaran lingkungan, pembakaran atau penebangan hutan maka akan dicari pelakunya dijatuhkan sanksi dan hukuman, masalah selesai. Sangat berbeda dengan masalah sampah domestik sebab terkait dengan pola pikir masyarakat, sarana dan prasarana, kemampuan anggaran dalam mengelola sampah dan komitmen dari penggambil kebijakan.
Sesuai dengan Perda no. 5 tahun 2010 pasal 9 bahwa”Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan” dan pasal 23 yang berisi larangan membuang sampah tidak pada tempatnya, membakar sampah dan larangan penanganan pembuangan terbuka ditempat pemrosesan akhir, selain itu diperkuat pada pasal 32 mengenai ketentuan pidana. Dengan demikian apakah sudah tidak ada lagi membakar atau membuang sampah sembarangan? Apakah seluruh warga sudah memilah sampah dari sumbernya?
Meskipun sudah ada peraturan perundangan yang dibuat namun untuk menjerat pelaku yang tidak memilah sampah, membuang sampah di sungai atau membakar sampah sulit diterapkan sangsi karena belum terpenuhinya secara merata/sesuai kebutuhan TPS dan layanan persampahan, sehingga mereka tidak punya pilihan untuk melakukan pelanggaran persampahan. Terlebih lagi perilaku masyarakat yang belum paham tentang pengelolaan dan dampak dari sampah. Ini merupakan pekerjaan rumah besar merubah perilaku atau budaya masyarakat menjadi lebih beradap terhadap lingkungan.
Mengurangi dan menangani sampah dari sumber yaitu dengan mengolah sampah organik ke dalam komposter ataupun biopori, memilah sampah anorganik yang selanjutnya dikirim ke bank sampah sehingga hanya sampah residu saja yang masuk ke TPA. Namun tidak semua masyarakat mampu melaksanakannya, hanya mereka kelompok masyarakat yang sangat peduli dan paham terhadap lingkungan. Akan tetapi itupun bukan berarti tanpa kendala, karena tidak semua wilayah pemukiman terdapat komposter ataupun biopori, tidak semua wilayah terdapat TPS yang sesuai dengan kebutuhan penduduk, dan tidak semua sampah mempunyai nilai ekonomis.
FB: didik cahyanto, WA: 081231825272